REFLEKS SPINAL PADA KATAK
(LOGO UNSOED)
Oleh :
Nama : Dewi Apriyani
NIM : B1J009021
Rombongan : V
Kelompok : 4
Asisten : Yudi Novianto
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN II
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2011
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel Data Refleks Spinal pada Katak
Perlakuan | Pembalikan tubuh | Penarikan kaki depan | Penarikan kaki belakang | Pencelupan H2SO4 |
Perusakan otak | + | + | + | + |
Perusakan ¼ medula | + | + | + | + |
Perusakan ½ medula | + | + | + | + |
Perusakan ¾ medula | + | + | + | + |
Perusakan total | - | - | + | - |
Keterangan : + : adanya respon gerak terhadap stimulus
- : tidak adanya respon gerak terhadap stimulus
B. Pembahasan
Perusakan total tulang belakang memberikan hasil tidak seluruhnya negatif terhadap semua refleks pada tubuh katak. Hal ini kurang sesuai dengan pendapat Djuhanda (1988), bahwa apabila seluruh sumsum tulang belakang dirusak, maka seluruh sistem saraf yang menyebabkan refleks spinal akan kehilangan respon, sebab tonus otot sudah tidak ada lagi dan tubuh hewan (katak) menggantung lemah. Pearce (1989), menambahkan bahwa perusakan tulang belakang ternyata juga merusakkan tali-tali spinal sebagian jalur saraf. Tali-tali spinal sendiri terdiri dari saraf sensori dan motorik, sehingga bila saraf tersebut rusak maka respon terhadap stimulus tidak terjadi. Timbulnya respon terhadap penarikan ekstrimitas posterior ini mungkin disebabkan oleh kesalahan prosedur pengrusakan otak.
Larutan H2SO4 merupakan asam kuat dan berbahaya apabila terkena tubuh. Kaki katak yang dicelupkan ke dalam larutan H2SO4 akan mengakibatkan katak sebisa mungkin akan menarik kakinya dari larutan itu karena berbahaya bagi tubuhnya, ini merupakan salah satu gerakan untuk perlindungan tubuhnya dari zat-zat kimia yang berbahaya. Percobaan ini membuktikan bahwa dalam suatu sistem refleks diperlukan sumsum tulang belakang sebagai pusat koordinasi dan pengaturan gerak refleks.
Refleks adalah suatu respon organ efektor (otot ataupun kelenjar) yang bersifat otomatis atau tanpa sadar terhadap suatu stimulus tertentu. Respon tersebut melibatkan suatu rantai yang terdiri atas sekurang-kurangnya dua neuron, yang membentuk suatu busur refleks. Dua neuron yang penting dalam suatu busur refleks adalah neuron afferen, sensoris, atau penghubung (interneuron) yang terletak diantara neuron reseptor dan neuron efektor. Refleks spinal yang khas adalah refleks rentang yang digambarkan dengan refleks pemukulan ligamentum partela, sehingga menyebabkan otot lutut terentang. Aksi refleks ini tidak memerlukan kontrol kesadaran (Frandson, 1992).
Rangsangan yang datang dari luar diterima oleh saraf sensorik yang diteruskan oleh saraf spinal ke tulang belakang, lalu dari tulang belakang diteruskan ke saraf motorik hingga menjadi suatu gerak. Gerakan ini tidak disadari karena tidak melalui otak yang disebut gerak refleks (Weichert, 1959). Refleks dapat melibatkan berbagai bagian otak dan sistem saraf otonom, refleks yang paling sederhana adalah refleks spinal. Gerak refleks spinal diatur oleh saraf-saraf yang terdapat di dalam medula spinalis. Medula spinalis atau sumsum tulang belakang terdapat di dalam kanalis vertebratalis berhubungan dengan otak melalui fragmen magnum. Sumsum ini terbungkus oleh badan lemak dan dilindungi oleh sentrum serta lengkung neural, kecuali cyclostoma (Djuhanda, 1988).
Katak memiliki sistem saraf yang mana saraf-saraf tersebut dapat menghantarkan stimulus keotak hingga menimbulkan respon. Respon akan ditanggapi oleh neuron dengan mengubah potensial yang ada antara permukaan luar dan dalam dari membran. Sel-sel dengan sifat ini disebut dapat dirangsang (excitable) dan dapat diganggu (irritable). Neuron ini segera bereaksi tehadap stimulus, dan dimodifikasi potensial listrk dapat terbatas pada tempat yang menerima stimulus atau dapat disebarkan ke seluruh bagian neuron oleh membran. Penyebaran ini disebut potensial aksi atau impuls saraf, mampumelintasi jarak yang jauh impuls saraf menerima informasi keneuron lain, baik otot maupun kelenjar (Junqueira, 1995).
Mekanisme refleks dimulai jika reseptor-reseptor dirangsang dan menimbulkan impuls dalam neuron afferent. Neuron ini merupakan bagian dari suatu saraf spinal dan menjulur ke dalam sumsum tulang belakang dan membawa impuls itu kembali melalui saraf spinal ke sekelompok otot ekstensor (Ville et al, 1988). Diagram mekanisme refleks menurut Mitchell (1956) :
Stimulus → Reseptor →Neuron afferent → Mengalami integrasi → Neuron efferent → Efektor →Respon. |
Faktor mempengaruhi refleks spinal menurut Subowo (1992), yaitu adanya refleks spinal dari katak berupa respon dengan menarik kaki depan atau kaki belakang saat perusakan sumsum tulang belakang disebabkan karena masih terjadi interkoneksi dari satu sisi korda spinalis ke sisi yang lain.Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya refleks spinal adalah masih berfungsinya sumsum tulang belakang. Sumsum tulang belakang mempunyai dua fungsi penting yaitu mengatur impuls dari dan ke otak dan sebagai pusat refleks. Adanya sumsum tulang belakang, pasangan saraf spinal dan cranial akan menghubungkan tiap reseptor dan efektor dalam tubuh sampai terjadi respon. Apabila sumsum tulang belakangnya telah rusak total maka tali-tali spinal sebagai jalur syaraf akan rusak dan tidak ada lagi yang menunjukkan respon terhadap stimulus (Ville et al., 1988)
(Gambar sistem saraf)
Berdiri dan berjalan memerlukan sejumlah besar interaksi sensorimotor yang terjadi sepanjang sistem saraf. Aferen sensori memainkan peran penting dalam pola aktivasi otot, seperti mempengaruhi sirkuitmelalui refleks tulang belakang, jaringan saraf tulang belakang,serta bertanggung jawab untuk mendorong dan mempertahankan rhythmicity, kemudi jangka pendek dan jangka panjang, organisasi sirkuit otak dan sumsum tulang belakang, dan memberikan kontribusi terhadap pemulihan berjalan setelah pelatihan lokomotor (Knikou, 2010).
Dalam jalur interaksi, refleks tulang belakang sirkuit memainkan peran yang menentukan dan tampaknya disesuaikan untuk internal dan eksternal tuntutan. Refleksyang berhubung dengan kulitpada ototantagonispergelangan kaki dipengaruhi ketika stabilitas penggerak dipicu(Haridas,2008). Aktivitas mandiri dapat berlangsung independen dari plastis kortikal (Wolpaw,2007). Hilangnya refleks dapat menunjukkan adanya penghambatan saraf sensorik, sinaps spinal, atau jalur eferen (Soemardji et.al.,2002).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Kerusakan pada tulang belakang tidak selalu menyebabkan refleks pada tubuh katak.
2. Mekanisme refleks berawal dari reseptor yang diterima neuron sensoris dilanjutkan ke sumsum tulang belakang kemudian ke neuron motorik dan berakhir ke efektor.
3. Perusakan awal menyebabkan terjadinya gerak refleks pada katak, dan perusakan yang bertingkat menyebabkan sedikit demi sedikit lemahnya kemampuan katak untuk melakukan gerak refleks dan menyebabkan hubungan antara satu sisi dengan sisi yang lain dari korda spinal terputus.
4. Perusakan terhadap spinal yang salah menghasilkan respon positif tarhadap gerak refleks
DAFTAR PUSTAKA
Djuhanda, T. 1988. Anatomi Perbandingan Vertebrata II. Armico, Bandung.
Frandson, F. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. UGM Press, Yogyakarta.
Haridas C, Zehr EP, Misiaszek JE. 2008. Adaptation of cutaneous stumble correction when tripping is part of the locomotor environment. J Neurophysiol ;99:278997.
Junqueira, Carlos. 1995. Basic Histology. McGraw-Hill. Boston.
Kimball, J. W. 1988. Biologi. Erlangga, Jakarta.
Knikou, M. 2010. Neural control of locomotion and training-induced plasticity after spinal and cerebral lesions. Clinical Neurophysiology 121 (2010) 1655–1668, New York.
Mitchell, P. H. 1956. A Textbook of General Physiology. McGraw-Hill Book Co.Inc., London.
Pearce, E. 1989. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta
Subowo. 1992. Histologi Umum. ITB Press, Bandung.
Ville, C. A., W. F Walker, R. D Barnes. 1988. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta.
Weichert, C. K. 1959. Element of Chordate Anatomy. McGraw-Hill Book Co., New York.
Wolpaw JR. 2007. Spinal cord plasticity in acquisition and maintenance of motor skills. Acta Physiol;189:155–69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar